Pengikut

Minggu, 15 Juni 2014

PENGANTAR LINGUISTIK (PROF.DR.J.W.M.VERHAAR)

“PENGANTAR LINGUISTIK”
Jilid pertama
Cetakan ke : 20
Penerbit : gajah mada university press
1995
PROF.DR.J.W.M.VERHAAR

BAB I
                                                    APAKAH LINGUISTIK ITU?
1.      Mengenai namanya
Linguisti berarti ‘ilmu bahasa’. Kata ‘linguistik’ berasal dari kata latin lingua ‘bahasa’.
Ferdinant de Saussure, seorang sarjan Swiss, dianggap sebagai pelopor lingguistik modern. Bukunya Cours de linguistique generale (1916) sangat terkenal dan dianggap sebagai dasar lingguistik modern. Oleh sebab itu, beberapa istilah Saussure diterima umum sebagai istilah resmi, misalnya langage, langue, dan parole. Langage berarti bahasa pada umumnya, seperti dalam ucapan “manusia mempunyai bahasa, binatang tidak mempunyai bahasa”. Langue selalu berarti bahasa tertentu. Kata parole berarti logat, ucapan, perkataan.
2.      Mengapa “umum”?
Ilmu linguisti sering pula disebut “linguistik umum”. Artinya linguistrik tidak hanya menyelidiki suatu langue tertentu tanpa memperhatikan ciri-ciri bahasa lain. Para sarjana linguistik tidak hanya mempelajari ‘langue’ saja, tapi juga tenpatnya didalam “langage”.Pendeknya, linguistik harus umum.
3.      Linguistik sebagai ilmu pengetahuan spesifik
Semua menyelidiki bahasa bukannya “sebagai bahasa”, melainkan bahasa sebagai manifestasi dari sesuatu yang lain. Yang spesifik dalam ilmu linguistik ialah bahwa penyelidikan menyangkut bahasa ‘sebagai bahasa’. Prinsip tersebut memang sangat diakui namun secara praktis sering terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang menjadi kekhususan ilmu linguistik, hal itu disebabkan oleh karena adanya banyak pertindihan diantara masing-masing ilmu pengetahuan empiris dan filsafat. Yang penting bagi kita sekarang adalah mengingat bahwa prinsip tadi dianggap berlaku umum.



4.      Mengenai obyek linguistik
Yang jelas sampai sekarang adalah bahwa obyek linguistik itu adalah bahasa. Akan tetapi pengertian kata ‘bahasa’ itu belum tentu jelas. Oleh kerena itu, perlu kita batasi sebagai berikut
a.       “Bahasa“ dalampengertian kiasan misalnya dalam ucapan “bahasa dansa” “bahasa alam” dan lain sebagainya.
b.      “Bahasa” dalam pengertian harafiah. Kita harus membedakan langage, langue, dan parole.
Dalam pengertian (b) sajalah bahasa itu menjadi objek linguistik. Disamping itu kita juga membedakan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan merupakan objek primer ilmu linguistik, dan bahasa tulisan merupakan bahasa sekunder ilmu linguistik.
Akhirnya kita perlu bertanya bagaimana ‘langage’, ‘langue’, dan ‘parole’ dibedakan sebagai objek linguistik. Parole merupakan objek konkret untuk ahli linguistik, langue adalah objek yang sudah sedikit lebih abstrak, dan yang paing abstrak adalah langage.












BAB II
BEBERAPA BIDANG ILMU DALAM LINGUISTIK

1.      Pembagian linguistik atas berbagai bidang
Semua cabang ilmu pengetahuan terbagi atas bidang-bidan “bawahan”. Dewasa ini tidak ada persetujuan diantara ahli linguistik bagaiman pembagian bidang-bidangnya. Diantara bidang yang dibedakan kita jumpai linguistik antropologis, lingiuistik sosiologois atau sosiolinguistik, linguistik komputasionil, dll.
Disini hanya akan diuraikan bidang-bidang dalam linguistik saja, yaitu bidang-bidang fonetik, fonologi, morfologi dan sintaksis. Sebelum itu akan dijelaskan mengenai perbedaan antara linguistik sinkronis dan dan diakronis, serta perbedaan antara tatabahasa (gramatikal) dan bendaharaan kata (leksikon).
2.      Linguistik sinkronis dan linguistik diakronis
Kedua istilah itu berasal dari Saussure. Linguistik diakronis adalah penyelidikan tentang perkembangan suatu bahasa. Perkembangan suatu bahasa dapat terjadi sedemikian rupa sehingga setelah beberapa abad timbullah beberapa bahasa yang benar-benar berlainan, karena variasi-variasi dari bahasa itu saling menjauhkan diri.
Lain lagi dengan linguistik sinkronis, bahasa dianalisa tanpa memperhatikan perkembangan yyang terjadi pada masa lampau. Yang tampak pada analisis sinkronis adalah apa yang lazim disebut “struktur”.
3.      Analisa leksikal dan analisa gramatikal.
Menurut sistematiknya, dalam setiap bahasa dapat dibedakan antara tatabahasa atau ggramatika bahasa itu dan pembendaharaan kata atau leksikon dalam bahasa yang sama. Oleh sebab itu, analisa tatabahasa atau analis a gramatikal dibedakan dari analisa leksikon, atau leksikologi, atau analisa leksikal.
Maka dari itu dalam semantik (analisa makna) lazim dibedakan pula antara semantik gramatikal dan semantik leksikal. Pembedaan tersebut dewasa ini banyak dipersoalkan.

4.      Fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis
Selain dari leksikon, sistematik setiap bahasa meliputi empat taraf “hierarkis” lagi, yaitu fonetik, fonlogi, morfologi, dan sintaksis. Yang tertinggi dalam hierarki adalah morfologi dan skintaksis, disebut tatabahasa atau gramatika.
Fonetik atau ilmu bunyi yang menyelidiki bunyi bagaumana terdapat dalam parole atau sebagaimana terdapat didalamnya. Fonetik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut perbedaan diantaranya tanpa memperhatikan segi “fungsionil” dari perbedaan tersebut, edangkan fonologi menyelidiki bunyi bahasa hanya menurut segi fungsionilnya saja. Sebagai contoh dalam bahasa indonesia perbedaan antara /r/ dan /l/ adalah perbedaan antar-fonem. Sedangkan dalam bahasa Jepang perbedaan antara [r] dan [l] adalah perbedaan fonetis saja.
Morfologi atau tatabentuk menganalisa bagian-bagian kata. Misalnya dalam bahasa indonesi kata “terduduk” teriri atas morfem “ter” dan morfem ”duduk”. Morfem itu disebut satuan gramatikal yang terkecil dalam sistematik bahasa.
5.      Semantik
Sematik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti. Perbedaan antara leksikon dan gramatikal menyebabkan bahwa dalam semantik itu kita bedakan pula antara semantik leksikal dan semantik gramatikal. Mengenai semantik leksikal tidak perlu kita uraikan banyak, sebuah kamus merupakan contoh yang tepat dari semantik leksikal, makna tiap-tiap kata diuraikan disitu. Semantik gramatikal lebih sulit dianalisa. Memeang menurut perbedaan antara kedua taraf gramatika, yaitu morfoologi da sintaksis, maka masuk akal kita bedakan anatara semantik sintaksis dan morfologis. Padahal tidak semua bagian sintaksis dapat dikatakan bermakna, sedangkan dalam hal morfem-morfem tertentu maknanya sering sulit dianalisa.
Yang penting sekarang ialah kita sadari bahhwa semantik itu tidak merupkan taraf. Ada semanttik pada taraf leksikon, dan gramatika. Fonetik itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan semantik, sedangkan pada taraf fonologi harus dikatakan bahwa fonem-fonem memang tidak bermakna.
6.      Linguistik teoritis dan linguistik terapan
Linguistik sebagai ilmu pengetahuan membutuhkan suatu teori yang konsekwen, sesuai teori linguistis.
Linguistik dapat dimanfaatkanpula untuk masalah praktis diluar linguistis itu sendiri. Misalnya bagaimana mengatasi kesulitan dalam pengajaran suatu bahasa asing? Kesulitan kesulitan tersebut untuk sebagian tidak menyangkut bahasa tetapi mialnya umur siswa, motivasinya, kemampuan untuk menghafalkan bahan-bahan, dls. Masalah semacam itu jelas termasuk ppsikologi belajar, psikologi perkembangan dan pendagogik. dipihak lain, linguistikpun dapat  dipakai untuk memudahkan soal-soal tadi. Lalu linguistik itu menjadi linguistik terapan, ilmu linguistik dan teori linguistik itu dikerjakan bukan demi teori itu sendiri, melainkan hanya sejauh menolong untuk mengatasi kesulitan tadi. Istilah Inggris untuk linguistik terapan adalah applie lingustics, dan dibedakan dari theoretical linguistics itu.












BAB III
FONETIK
1.      Jenis fonetik
Fonetik adalah penyelidikan bunyi-bunyi bahasa, tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna.
Fonetik ada 3 jenis : (a) akustik, (b) auditoris, (c) organis. Fonetik akutis menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fifisnya sebagai getaran udara. Fonetik auditoris adalah penyelidikan mengenai cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga. Dan fonetik organus menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat-alat bicara.
2.      Alat-alat bicara
Hal pertama yang perlu diuraikan dalam fonetik organis ialah alat-alat bicara.
a.       Paru-paru


b.      Batang tenggorokan
c.       Pangkal tenggorokan
d.      Pita-pita suara
e.       Rongga kerongkongan
f.       Akar lidah
g.      Pangkal lidah
h.      Tengah lidah
i.        Daun lidah
j.        Ujung lidah
k.      Anak tekak
l.        Langit-langit lunak, langit-langit tekak
m.    Langit-langit keras
n.      Lengkung kaki, gigi,  gusi
o.      Gigi atas
p.      Gigi bawah
q.      Bibir atas
r.        Bibir bawah
s.       Mulut
t.        Rongga mulut
u.      Hidung
v.      Rongga hidung


Bila istilah-istilah ini dipakai dalam bentuk kata sifat, maka biasanya kita pinjam kata sifat itu dari bentuk latinnya. Untuk memudahkan penggunaan istilah semacam itu, dibawah ini disebutkan beberapa istilah yang paling sering dipakai :
a.       Pangkal tenggorokan – laringal


b.   Rongga tenggorokan – faringal
c.       Pangkal lidah – dorsal
d.      Tengah lidah –dorsal
e.       Daun lidah – laminal
f.       Ujung lidah – apical
g.      Anak tekak – uvular
h.      Langit-langit lunak – velar
i.        Langit-langit keras – palatal
j.        Lengkung kaki gigi, gusi – alveolar
k.      Gigi – dental
l.        Bibir – labial
m.    Rongga mulut – oral
n.      Rongga hidung – nasal



3.      Cara bekerja alat-alat bicara
Udara dipompakan dari paru-paru, melalui batang tenggorokan yang didalamnya terdapat pita-pita suara. Pita suara itu harus terbuka untuk memungkinkan arus udara keluar melalui kedua-duanya. Karena dalam batang tenggorokan untuk arus udara tidak ada jalan lain. Apabila udara keluar tanpa mengalami hambatan disana-sini, kita tidak mendengar apa-apa, bunyi bahasa hanya bila arus udara terhalang oleh alat bicara tertentu. Beberapa hambatan yang terjadi :
a.       Antara pita-pita suara; yang dihasilkan adalah bunyi bersuara
b.      Antara akar lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan, yang dihasilkan adalah bunyi faringal; missal [h]
c.       Antara pangkal lidah dan anak tekak, hasilnya bunyi uvular; misalnya [r]
d.      Antara pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya adalah dorsovelar; misalnya [k, g, η, X]
e.       Antara tengah-tangah dan langit-langit keras, hasilnya bunyi medio-laminal; missal [ʃ, ʒ, t, d]
f.       Antara daun lidah dan langit-langit keras, hasilnya bunyi lamino-alveolar; missal [s, z]
g.      Antara ujung lidah dan langit-langit keras, hasilnya bunyi apiko-palatal; missal [ḍ] dalam kata jawa dhateng
h.      Antara ujung lidah dan lengkung kaki gigi, hasilnya bunyi apiko-alveolar; missal [t, d]
i.        Antara ujung lidah dan gigi atas, hasilnya bunyi apiko-dental; misal [ϴ] dalam kata Inggris thin
j.        Antara gigi atas dan bibir bawah, hasilnya bunyi labio-dental; missal [f, v]
k.      Antara bibir atas dan bibir bawah, hasilnya bunyi dwibibir atau bilabial; missal p, b, w]

4.      Konsonan dan vocal
Kita harus membedakan bunyi konsonan dan bunyi vocal. Dalam mengucapkan vocal terjadilah aluran sempit antara pita suara dan tidaka ada halangan lain ditempat yang lain pada waktu yang sama. Alur sempit antara pita suara tadi menyebabkan pita itu bergetar, dan getaran itu menyebabkan pita itu bergetar, dan getaran itu menyebabkan udara yang keluar bergetar pula. Maka dari itu, semua vocal merupakan bunyi bersuara.
Konsonan ada yang bersuara, yang terjadi bila ada alur sempit diantara pita suara. Dan ada yang tak bersuara yang terjadi bila tempat artikulasi yang bersangkutan sajalah yang merupakan alur sempit sedang pita suara itu terbuka agak lebar.
Selain dari bunyi vocal dan konsonan kita juga mengenal apa yang disebut bunyi “semi-vokal”. Bunyi semi-vokal yaitu [j], [w]. sebenarnya termasuk konsonan seperti [m] dan [I] dalam posisi tertentu mirip vocal-bunyi demikian menjadi silabis.
5.      Beberapa jenis konsonan
Menurut cara pengucapannyadapat kita bedakan konsonanan sebagai berikut :
a.       Bunyi letupan (splosives, stops), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat arus udara sama sekali ditempat artikulasi tertentu secara tiba-tiba, sesudahnya alat-alat bicara ditempat artikulasi tersebut dilepaskan kembali.
b.      Semua bunyi yang bukan letupan lazimnya disebut “kontinuan’’ (continuans). Bunyi kontinuan itu meliputi beberapa jenis, yaitu sengau, sampingan, paduan, geseran dan aliran jenis-jenis ini akan diuraikan sekarang.
c.       Bunyi sengau (nasal), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara keluar melalui rongga mulut tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung. Antara kedua bibir hasilnya [m]; antara ujung lidah dan ceruk hasilnya buyi [n]; antara pangkal lidah dan langit-langit lunak hasilnya [η]. Semuanya itu dapat dirasakan.
d.      Bunyi sampingan (laterals), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghalangi arus udara sehingga keluar melalui sebuah atau biasanya keluar melalui sisi lidah. Tempat artikulasi dalah antara ujung lidah dan lengkung kaki gigi. Hasilnya (I)
e.        Bunyi paduan atau afrikat dihasilkan dengan menghambat arus udara disalah satu tempat artikulasi dimana juga bunyi letupan diartikulasikan, lalu dilepaskan secara “frikatif”. Artinya eksplosinya yerjadi sedemikian rupa sehingga pada tempat artikulasi suatu alura sempit dipertahankan, hasilnya bunyi geseran sebagai bagian kedua dari bunyi afrikatif itu. Contoh : (t, s), (ʒ)
f.       Bunyi geseran atau frikatif adalah bunyi yang dihasilkan oleh alur yang amat sempit sehingga sebagian besar arus udara terhambat. Penghambatan dapat terjadi antara pangkal lidah dan anak tekak [r]; antara daun lidah dan langit-langit keras [s], [z]; anatara gigi atas dan bibir bawah [f], [v]; antara ujung lidah dan gigi atas [ϴ].
g.      Bunyi geletar (trills) adalah bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan ujung lidah pada lengkung kaki gigi, segera melepaskannya dan segera lagi mengartikulasikannya. Misalnya bunyi [r].
h.      Bunyi alir (liquids), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan terbentuknya alur sempit antara pita-pita suara dengan tempat artikulasi sedemikian rupa sehingga alur sempit yang kedua tidak ada. Tempat artikulasi dapat terjadi diantara bibir, hasilnya bunyi [m], diantara ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi [n], atau antara pangkal lidah dan langit-langit lunak [η].
i.        Bunyi kembar atau geminat (geminates) yaitu konsonan yang terjadi dengan memperpanjangkannya kalau bunyi itu sesuatu yang kontinuan atau dengan memperpanjang waktu antara implosi dan eksplosi dalam hal bunyi letupan. Misalnya cappa [kapa].
6.      Semi vocal
Kualitas semi vocal ditentukan tidak hanya oleh tempat artikulasi tetapi juga oleh bangun mulut atau sikap mulut. Misalnya vocal [j].

7.      Beberapa jenis vocal
Ada beberapa cara-cara untuk menggolongkan bunyi-bunyi vocal :
a.       Menurut posisi lidah membentuk ruang resonansi, vocal-vokal digolongkan atas: vocal depan (front vowels), vocal tengah (central vowels) dan vukal belakang (back volwels). Vokal depan dihasilkan dengan menggerakkan bagian depan dan bagian belakang lidah kearah langit-langit, sehingga terbebtuklah suatu rongga menjadi ruang resonansi antara bagian depan lidah dan langit-langit, misalnya [e]. vocal tengah dihasilkan dengan menggerakkan bagian depan dan bagian belakang lidah kearah langut-langit, sehinnga terbentuklah suatu ronnga menjadi ruang resonansi  diantara bagian tengah lidah dan langit-langit, misalnya bunyi [ə]. Vocal belakang dihasilkan dengan menggerakkan bagian depan lidah kearah langit-langit sehingga terbentuklah suatu rongga sebagai resonansi antara bagian lidah dan  langit-langit, misalnya vocal [o].
b.      Menurut posisi tinggi rendahnya lidah, vocal digolongkan atas vocal tinggi, vocal madya, dan vocal rendah. Tinggi rendahnya tergantung dari lidah terhadap langit-langit. Sebagai contoh dari vocal rendah [a]; dari vocal madya [e]; dan vocal tinggi [i].
c.       Menurut peranan bibir, dapat kita bedakan antara vocal bundar, dan vocal tak bundar. Contoh dari vocal bundar adalah [u]; dan vocal tak bundar adalah [i].
d.      Menurut lamanya pengucapan vocal dengan mempertahankan posisi alat-alat bicara yang sama, vocal dapat kita golongkan atas vocal panjang, dan vikal pendek. Lamanya itu sendiri disebut kwantitas ‘quantity’
e.       Menurut peranan rongga hidung kita bedakan anta vocal sengau (nasal) dan vocal mulut (oral)

8.      Vocal rangkap dua
Selain dari penggolongan diatas, kita juga mengenal beberapa vocal yang dikenal sebagai vocal rangkap dua atau diftong. Vocal rangkap dua terdiri dari dua bagian, yang pertama dengan posisi lidah lain dibandingkan dengan posisinya pada yang kedua. Nmun yang dihasilkan dengan cara tersebut bukan dua vocal, karena terdapat dalam satu suku kata. Bila ada dua vocal yaitu satu terdapat dalam satu suku kata dan yang kedua dalam suku kata yang berikutnya, maka tidak ada vocal rangkap dua.
Contoh dari diftong: [au], dalam kata Indonesia kalau, tetapi [a]+[u] dalam kata Indonesia daun, adalah contoh dari dua vokal “tunggal” saja.
Diftong-diftong sering dibedakan menuruttinggi rendahnya dari unsur-unsurnya, yaitu antar diftong yang “naik” dan diftong yang “turun”. Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong yang naik. Dan yang turun terdapat dalam kata Inggris ear dan moor.
9.      Klasifikasi Vokal tunggal
Vocal-vokal tunggal (simple vowels) dapat diklasifikasikan dengan memperhatikan tinggi rendahnya dan posisinya dari belakang ke depan. Menurut para ahli fenotik vocal yang paling tinggi adalah yang paling depan pula, dan yang peling kebelakang adalah yang paling rendah pula.
10.  Suku kata (silabe)
Suku kata, atau silabe (inggris syllable kata sifatnya syllabic, kata sifat Indonesia “silabis”) adalah satuan ritmik terkecil dalam arus ujaran. Puncak ritme atau irama itu sama dengan penyaringan atau sonoritas (inggris sonority) yaitu pantulan suara yang dihasilkan, yang dimumgkinkan oleh adanya ruang resonansi (resonansi chamber). Sonoritas dihasilkan oleh perbanyakan sumber bunyi akibat pemantulan tadi.
Puncak silabe (syllabic sound, atau silable peak) biasanya adalah buyi vocal, oleh karena bunyi vokallah yang paling banyak memanfaatkan rongga mulut dan hidung dan kerongkongan sebagai ruang resonansi, sehingga ruang resonansi lainnya paling banyak dimanfaatka pula. Tetapi puncak silabe dapat juga terdiri dari  semi-vokal, maupun konsonan kontinuan apa saja.
11.  Titinada
Dari sudut fonetik akustik semua bunyi adalah getaran udara, dan makin tinggi frekwensi getaran itu, makin tinggi nada bunyi.nada bunyi bahasa yang paling mudah ditangkap oleh alat pendengar ialah nada bunyi yang dihasilkan dengan pembentukan alur sempit antar pita-pita suara, dan frekwensi getaran udara yang ditimbulkannya ditentukan pleh frekwensi getaran pita-pita suara.
Salah satu variasi titinada yang menyertai seluruh kalimat, atau bagian dari kalimat, adalah intonasi (intonation) atau lagu (melody).
Demi gampangnya analisa intonasi,, maka para ahli fonetik dan fonologi memakai istilah seperti: nada “tinggi” (high), “rendah” (low), “sedang” (mid); atau tinggi rendahnya dibedakan menurut angka sja, misalnya angka 1 sampai dengan angka 4.
12.  Tekanan dan aksen
Tekanan dan aksen sulit sekalio dibedakan. Kesulitan tersebut terdapat dari sudut-sudut istilah, dan terdapat pula dalam fakta-fakta yang dinamai oleh istilah-itilah tersebut. Atau dengan perkataan lain, kesulitan tadi untuk sebagian adalah terminologis saja (“terminology”=peristilahan), dan untuk sebagian berupa faktis, yaitu menyangkut fakta-fakta. Kesulitan terminologis belum dipecahkan oleh para ahli fenotik dan fonologi.
Istilah “tekanan” kita pakai untuk yang dinamai sebagai “amplotido” dalam ilmu alam (dari kata latin amplitudo “lebarnya”). Amplitudo adalah “lebarnya” getaran udara. Tingginya frekwensi netral terhadap amplitude masing-masing getaran.
Tekana seperti halnya dengan nada, adalah relative, tidak absolute. Bila sebagian dari suatu tuturan diucapkan dengan suara yang lebih kuat daripada kuatnya suara dalam bagian lain-lainnya dalam tuturan tersebut perbedaan relative itu memadai. Ucapan dengan amplitude yang lebih besar dinamakan “tekanan kontras”.
Dewasa ini para ahli menduga bahwa aksen nada lebih berhubungan dengan panjangnya bunyi silabis, dan bahwa aksen tekan lebih berhubungan dengan sonoritas silabe.
13.  Asimilasi fonetis
Yang dimaksud dengan asimilasi ialah saling pengaruh yang terjadi antara bunyi yang berdampingan atau yang berdekatan.
Sebagai contoh sederhana asimilasi fonetis kita ambil bunyi [t] dalam bahasa inggris, yang biasanya diucapkan secara apiko-alveolar, tetapi bila terdapat sebelum bunyi [s] maka menyesuaikan diri dengan artikulasi lamino-alveolar bunyi [s] tersebut, menjadi lamino-alveolar sendiri [t] dalam kata “stop” misalnya.












BAB IV
FONOLOGI
1.      Fonologi sebagai analisa bunyi  secara “fungsionil”
Fonologi sebagai bidang khusus dalam linguistik itu mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam bahasa tersebut. Sesuatu bunyi yang mempunyai fungsi untuk membedakan kata dari kata yang lain disebut sebuah fonem. Dengan perkataan lain fonologi dapat didefinisikan sebagai penyelidikan tentang peran minimal.
2.      Penafsiran ekafonem dan penafsiran dwifonem
Adakalanya menggolongkan bunyi tertentu kedalam fonem tertentu dapat kita hadapi kesulitan khusus. Misalnya apakah harus kita tafsirkan bunyi [dʒ] pada kata Inggris bridge sebagai satu fonem “afrikat” atau dua fonem. Kedua macam penafsiran dalam fonologi masing-masing disebut penafsiran “ekafonem” dan penafsiran “dwifonem”.
3.      Variasi alofonemis
Anggota dari suatu fonem disebut alofon. Suatu alofon adalah salah satu cara konkret mengucapkan sesuatu fonem.
4.      Asimilasi fonemis
Berbeda dari asimilasi fonetis, asimilasi fonemis menyebabkan suatu fonem menjadi fonem yang lain. Misalnya fonem /v/ dari kata vis diubah menjadi fonem yang lain yaitu /f/.
5.      Beberapa jenis asimilasi fonemis
Asimilasi fonemis dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu progresif, regresif, dan resiprokal. Asimilasi regresif dan progresif sudah diuraikan pada bab III. Sedangkan asimilasi resiprokal adalah akibat saling pengaruh antara dua fonem yang berurutan, uang menyebabkan kedua fonem menjadi fonem yang lain dari semula.

6.      Asimilasi fonemis dalam beberapa bahasa
Terjadi tidaknya berbagai jenis asimilasi fonemis tergantung dari struktur bahasa masing-masing. Sedangkan asimilasi fonetis sangant umum dalam semua bahasa didunia. Namun asimilasi fonemis sangat berbeda antara bahasa-bahasa.
7.      Asimilasi dan modifikasi vocal
Pada perubahan vocal yang terjadi dalam kata Belanda “hanje”, dibandingkan dengan kata “hand”, perubahan tersebut berdasarkan artikulasi. Jadi penyesuaian bunyi berdasarkan cara menghasilkannya jadi asimilasi. Pada waktu yang sama, asimilasi tersebut tidak mengubah fonem, dan fonem yang sama dipertahankan. Maka dari itu, disini ada asimilasi fonetis.
Asimilasi semacam itu sering disebut “umlaut”, “umlaut” adalah kata jerman yang berarti berubahan vocal.
8.      Netralisasi dan akrifonem
Netralisasi selalu mengandung perpindahan identitas fonem, yaitu sesuatu fonem menjadi fonem yang lain. Yang lebih penting dalam hal netralisasi ialah apakah batalnya oposisi yang bersangkutan dapat ditandai secara fonemis. Dalam tulisan fonemis, para ahli fonologi pernah mengusulkan pemakaian tanda huruf besar untuk menyatakan fonem mana yang menjadi batal.
9.      Beberapa perubahan fonemis selain dari asimilasi dan modifikasi vocal

a.       Hilangnya bunyi dan kontraksi
Hilangnya bunyi dan kontraksi oleh beberapa ahli fonologi ditafsirkan sebagai salah satu kemungkinan asimilasi. Hal itu hanya merupakan terminologis saja. Misalnya dalam kata silahkan/silakan, fonem /x/ dapat dipakai boleh juga tidak. Biasanya fenomena ini tidak disebut “variasi bebas”, melainkan “hilangnya bunyi”.
b.      Disimilasi
Bila asimilasi terjadi karena sebuah bunyi berubah untuk menyesuaikan diri dengan bunyi lain, maka disimilasi terjadi bila dua bunyi yang sama karena berdekatan letaknya berubah menjadi tak sama. Misalnya dalam kata Indonesia “berajar” dihindarkan karana dalam ‘ajar’ sudah ada /r/, jadi tidak terdapat lagi dalam prefix ber-, yang /r/nya disimilasikan dengan /r/ dari ajar menjadi konsonan tak sama dengannya, yaitu /I/.
     c. metatesis
metasis adalah perubahan bunyi lain. Metasis terjadi bila sebuah bunyi bertukar tempat dengan bunyi lain. Contoh brantas di samping brantas, jalur di samping lajur, kerikil di samping kelikir. Metatesis ini bersifat sinkronis dan sebagai sesuatu hal “variasi bebas”.
10. fonem-fonem suprasegmental
Fonem suprasegmental adalah fonem-fonem yang sudah diuraikan karena dapat disegmentasikan sebagi segmen yang terkecil. Dalam bahasa ada bunyi-bunyi tertentu yang tidak berupa segmental, artinya yang terdapat sekaligus dengan satu sillabe, atau malah dengan sejumlah silabe, atau frase, suatu kalimatpun. Yak dimaksud adalah (a) titinada yang terdapat pada sillabe dan dengan cara yang membedakan makna (b) titinada yang bervariasi dan terdapat pada suatu kalimat atau bagian kalimat, yaitu intonasi (c) tekanan yang terdapat pada suatu bagian kalimat, kecil atau panjang, (d) aksen yang terdapat pada suku kata tertentu dalam suatu kata.
(a)    Titinada sebagai pembeda makna leksikal
Selain dari pemakaian suatu variasi nada dalam ujaran untuk menghasilkan intonasi tertentu, titinada juga merupakan relevansi khusus untuk unsur leksikal (untuk kata). Contoh dapat disebutkan bahasa-bahasa Tiong-Hoa, bahasa Muang Thai, dan beberapa bahasa indian di Meksiko.
(b)   Titinada dalam intonasi
Intonasi dapat menyatakan suatu modus penutur, contoh bahwa ia marah, atau kecewa, atau kurang sabar. Bila intonasi menyatakan sesuatu modus penutur yang tak ada hubungannya dengan apa yang dinyatakan dalam kalimat yang diberi intonasi itu, contoh adikmu menang dalam pertandingan, bila si  pengujar mengucapkannya dengan intonasi yang jelas menyatakan kekecewaannya atas kemenangan tersebut (kecewa entah karena apa, mis karena iri hati) maka intonasi tersebut jelas fonetis saja. Tetapi bila kalimat itu diberi intonasi yang menyatakan entusiasme dari pengujar, tidak begitu mudah menentukan apakah intonasi itu fonetis atau fonemis.
(c)    Tekanan
Tekanan tidak sama dengan aksen, bila tidak kita perhatikan entah nada entah aksen yang disertainya, terdiri dari lebarnya getaran udara saja. Contoh saya mau pergi ke Buru, bukan ke Boro. Kalimat itu untuk mencegah adanya salah tangkap, dan untuk menciptakan kontras antara kata buru dan boro kedua kata itu akan diucapkan lebih keras. Tekanan bersifat fonemis.
(d)   Aksen
Aksen sebagai pembeda makna leksikal dalam bahasa. Contohnya dalam bahasa inggris kata /’impo:rt/ import ‘barang yang di impor’ (tanda ‘ dipaki untuk melambangkan aksen, dan diletakkan di depan silabe yang diberi aksen) dibedakan dari kata /’impo:rt/ import ‘mengimpor’ han ya dengan aksen saja.







BAB V
 MORFOLOGI
1.      Morfologi itu apa?
Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal karena setiap kata juga dapat dibagi atas segmen yang terkecil yang disebut fonem itu, tetapi fonem-fonem itu tidak harus berupa morfem. Contohnya kata medan terdiri atas lima fonem dan satu morfem.
2.      Morfem bebas dan terikat, dasar dan imbuhan, kontinu dan diskontinu
Morfem bebas dapat “berdiri sendiri”, yaitu bisa terdapat sebagai suatu “kata”,  sedang morfem terikat tidak terdapat sebagai kata tetapi selalu dirangkaikan dengan satu atau lebih morfem yang lain menjadi satu kata. Contoh dalam bahasa indonesia bentuk cinta, makan, dan satu adalah morfem bebas, sedangkan kata ber- dalam kata bersatu atau memper- dalam kata mempersatu terdapat sebagai bagian kata, merupakan morfem terikat.
Morfem-morfem dibedakan sebagi morfem asal dan morfem imbuhan. Contoh dalam kata berlibur morfem libur adalah morfem asal dan ber- adalam morfem imbuhan. Semua morfem imbuhan adalah morfem terikat sedangkan morfem asal adalah morfem bebas.
Suatu pembedaan penting dalam hal morfem terikat ada pula diantara morfem utuh (continuous morpheme) dan morfem terbagi (discontinuous morpheme). Morfem imbuhan terbagi terdapat bila bentuknya dibagi menjadi atau lebih bagian yang berjauhan secara linear, contoh ber- sama dengan –kan merupakan satu morfem (konfiks), jadi contoh berlandaskan terdiri dari dua morfem imbuhan terbagi, yaitu ber- + -kan dan morfem asal yang utuh landas.
  1. Kata dan struktrur morfemis kata
Kata teridiri dari satu morfem saja. Kata yang terdiri lebih dari satu morfem disebut kata “polimorfemis”. Sebuah kata dapat terdiri atas morfem asal + morfem asal dan struktur tersebut disebut kata majemuk, contoh bumiputra, syahbandar, matahari.

  1. Variasi alomorfemis
Variasi alofonemis ditentukan atas dasar fonetis saja, dalam variasi alomorfemis kaidah-kaidah alovoriasi itu tidak harus seluruhnya berdasarkan pengaruh bunyi, variasi itu dapat berdasarkan kaidah yang lain tanpa dasar fonemis. Dua variasi alomorfemis yaitu : (a) kaidah “morfofenemis”  (morphophonemic rules), dan (b) kaidah alorfemis yang lain
  1. Morfem, morf dan alomorf
Morfem berwujud abstrak. Morf sebetulnya tidak lain dari salah satu bentuk alomorfemis dari suatu morfem, tetapi bentuk yang hendak dipilih dianggap mewakili secara kongkrit morfem yang bersagkutn.
  1. Asimilasi morfofonemis
Konsep ‘’asimilasi’’ dalam istilah ‘’asimilasi morfofenemis’’ lebih luas daripada asimilasi fonetis dan asimilasi fonemis. Dalam asimilasi fonetis ada penyesuaian suatu bunyi pada suatu bunyi lain, tetapi identitas fonem dipertahankan, jadi perubahan yang bersangkutan terjadi sebagai variasi alofonemis saja. Asimilasi morfofenemis terdapat pada batas morfem saja, dan sedemikian rupa sehingga satu dari morfem yang berdampingan untuk konstituen fonemis.
  1. Beberapa jenis morfem; proses morfemis
Kita dapat membedakan morfem-morfem menurut proses mana yang dapat dihasilkan dengannya, (a) afik;afiksasi (b) klitiks;klitisasi (c) modifikasi intera;modifikasi intern (d) reduplikasi;reduplikasi (e) komposisi;komposisi.
  1. Afiksasi
Afiksasi adalah penambahan afiks, selalu berupa morfem terikat dan dapat ditambahkan pada awal kata (prefiks;prefix) dalam proses yang disebut prefikasi, pada akhir kata (sufiks;suffix) alam proses disebut sufiksasi.
  1. KlitisasiIstilah ‘’klitika’’ (pro- dan –en) sering dipakai untuk menyebutkan kata-kata singkat yang tidak beraksen oleh karena itu selalu harus ‘bersandar’ pada suatu kata yang beraksen  sebagai konstituennya.
  2.  Modifikasi intern
Modifikasi intern(internal modification)  adalah perubahan vokal. Misalnya dalam bahasa inggris kata sing, sang, sung.
  1.  Reduplikasi
Proses reduplikasi terdapat dalam banyak sekali bahasa, meskipun dalam bahasa ‘’tipe’’ tertentu hampir tidak dijumpai. Konstituen yang dikenai reduplikasi dapat morfofonemis, dapat polimorfemis juga : meja-meja, kebun-kebun,  ancaman-ancama, perkecualian-perkecualian disebut reduplikasi penuh. Reduplikasi dapat berupa pengulangan untuk sebagian juga, contoh lelaki,  Pepatah, pepohonan.
  1.  Komposisi
Komposisi adalah perangkaian bersama-sama dua morfem asal yang menghasilkan satu kata.
  1.  Afiksasi dan paradigma
Dalam ilmu linguistik ada dua pengertian mengenai paradigma (a) semua perubahan afiksasi yang mempertahankan identitas kata (b) semua perubahan yang melampaui batas kata. Contohnya terdapat mengajar, diajar, ajar, mengajarnya, diajarnya, kuajar, kauajar, dan boleh dikatakan semua hasil afiksasi tersebut tidak meninggalkan identitas kata, yang kita identifikasikan lazimnya dengan memilih bentuk yang berawalan /me(N)/ dalam hal ini mengajar.
  1.  Fleksi dan derivasi
Istilah fleksi berarti semua perubahan paradigmatis yang dihasilkan dengan proses morfemis manapun, entah dengan afiksai, modifikasi intern, entah dengan reduplikasi parsial; variasi paradigmatis dengan reduplikasi penuh tridak lazim. Derivasipun tidak harus terjadi dengan proses afiksasi saja, karena modifikasi intern atau reduplikasi dapat dipakai juga.
  1.  Produktifitas
Proses morfemis dibagi atas yang produktif dan yang tidak produktif. Proses morfemis dikatakan produktif bila dapat diterapkan pada konstituen yang tidak lazim, atau belum pernah mengalaminya dan proses tersebut tidak produktif bila tidak dapat diterapkan pada konstituen yang belum pernah mengalaminya.
  1.  Beberapa istilah tambahan
Dalam proses paradigmatis biasanya ada beberapa ‘’makna’’ yang dinyatakan oleh perubahan paradigmatis itu. Contoh jumlah (number), orang (person),jenis (gender), kala (tense), diatesis (voice atau diathesis), aspek (aspect), modus (mood), kasus (case).












BAB VI
SINTAKSIS, FUNGSI, KATEGORI, PERAN
1.      Sintaksis itu apa ?
Kata sintaksis berasal dari Yunani sun dengan tattein menempatkan istilah tersebut secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat.
2.      Fungsi, kategori, peran
Istilah seperti ‘’subyek’’, ‘’predikat’’, ’’obyek’’, keterangan’’, sebagai fungsi, istilah ‘’kata benda’’, ‘’kata kerja’’, ‘’kata sifat’’, ‘’kata depan’’, sebagai kategori (kelas kata), sedangkan istilah seperti ‘’pelaku’’, ‘’penderita’’, ‘’penerima’’, ‘’aktif’’, ‘’pasif’’, ditentukan sebagai peran.
  1. Hubungan antara tataran fungsi, tataran kategori, dan tataran peran
Pembedaan antara fungsi dan peran menyebabkan kita simpulkan sesuatu yang penting : suatu fungsi tidak ‘’berarti’’ apa-apa, suatu fungsi tidak bermakna. Fungsi-fungsi itu sendiri tidak memiliki ‘’bentuk’’ tertentu, tetapi harus ‘’diisi’’ oleh bentuk tertentu, yaitu suatu kategori. Fungsi-fungsi itu juga tidak memiliki ‘’makna’’ tertentu, tetapi harus ‘’diisi’’ oleh makna tertentu, yaitu peran. Jadi setiap fungsi, dalam kalimat kongkrit, adalah tempat ‘’kosong’’, yang harus ‘’diisi’’ oleh dua  ‘’pengisi’’, yaitu ‘’pengisi’’ kategorial (menurut bentuknya) dan ‘’pengisi’’ semantis ( menurut perannya).

  1. Catatan mengenai ‘’pokok’’ dan ‘’sebutan’’
Dalam teori linguistik sering ditemukan istilah inggris topic dan comment. Kata topic diterjemahkan sebagai ‘’pokok’’ dan comment adalah ‘keterangan’. Pokok berarti sesuatu yang tentangnya kita menyebutkan sesuatu, sedang sebutan itu adalah apa yang kita sebutkan tentang poko tadi. Contoh, Ahmad sudah datang , yang merupakan pokok ialah Ahmad lalu dalam kalimat ‘yang sudah datang ialah Ahmad’ yang merupakan sebutan ialah Ahmad.

  1. Fungsi sintaksis; soal peristilahan
Perbedaan terminologis yang ada dibagi menjadi empat, yaitu :
(a)    Kalimat dibagi atas subyek dan predikat; lalu predikat itu dibagi lebih lanjut lagi atas predikat verbal, obyek, dan keterangan; akhirnya keterangan dapat dibagi lagi atas beberapa macam keterangan, contoh keterangan waktu, keterangan tempat, dll.
(b)   Kalimat dibagi atas subyek, predikat, dan keterangan; lalu keterangan dibagi lagi atas obyek dan keterangan waktu, tempat, dll
(c)    Kalimat dibagi atas subyek, predikat, dan pelengkap, lalu pelengkap dibagi lagi atas obyek dan keterangan, dan keterangan dibagi lagi atas keterangan waktu, keterangan tempat
(d)   Kalimat dibagi atas subyek, predikat, obyek dan keterangan, sedang keterangan itu sendiri dibagi lagi atas keterangan tempat, keterangan waktu
  1. Fungsi sintaksis; hubungan di antaranya
Fungsi sintaksis bersifat ‘’formil’’ juga dalam arti tambahan, yaitu bahwa fungsi pada hakekatnya berhubungan dengan fungsi lain tanpa hubungan tersebut fungsi tidak ada samasekali. Contoh subyek menyatakan adanya hubungan dengan predikat, predikat menyatakan adanya hubungan subyek dll . jadi ‘’formil’’nya fungsi sintaksis mencakup dua ciri : kekosongan dan ‘’relasionalitas’’.
  1. Fungsi bawahan
Menurut teori tertentu seluruh kalimat dibagi atas beberapa fungsi ‘’utama’’ dulu, baru kemudian salah satu, atau lebih daripada satu, dibagi lagi atas beberapa fungsi sebagai pembagian fungsionil ‘’lanjutan’’. Prinsip pembagian disini penting, karena perlu tidaknya sering tergantung dari kalimat kongkrit manakah yang harus dianalisa, contoh saya tidak dapat mengangkat meja berat itu lalu pisahkan obyek. Di tempat obyek terdapat konstituen meja berat itu. Jelas konstituen tersebut masih dapat dianalisa lebih lanjut, yaitu terdiri atas meja berat dan itu dulu, lalu konstituen meja berat dapat dibagi lagi atas meja dan berat.
  1. Fungsi ‘’inti’’ dan fungsi ‘’luar inti’’ (sampingan)
Dalam ilmu linguistik diketahui kalimat tidak selamanya memuat fungsi yang ada. Lazimnya subyek serta predikat dianggap merupakan fungsi ‘’inti’’. Memang subyek dan predikat itu lebih inti sifatnya daripada fungsi lainnya secara agak abstrak karena banyak contoh kaqlimat tanpa subyek, contoh kembali ! atau menyeberang di sini !. bagaimana menentukan yang mana termasuk fungsi inti, dan yang mana termasuk fungsi sampingan ? dapat ditentukan dalam kalimat kongkrit, contoh saya tinggal di jakarta konstituen di jakarta terdapat di tempat keterangan, sehingga untuk menentukan keterangan itu sebagai fungsi sampingan. Ada satu arti untuk dapat kita sebutkan fungsi predikat sebagai fungsi inti : yakni predikat adalah ‘’pusat’’ struktur fungsionil. Fungsi-fungsi adalah ‘’relasionil’’ yakni pada hakekatnya berhubungan dengan fungsi lain.
  1. Fungsi dan konstituen kalimat
Semua konstituen sebagai pengisi kategorial fungsi dalam contoh-contoh di atas berupa konstituen segmental. Tetapi ada yang tidak, karena ada konstituen kalimat yang sama sekali tidak termasuk fungsi apapun; di pihak lain, ada fungsi yang tidak segmental dengan batas segmen yang jelas. Yang tidak termasuk analisa fungsionil adalah kata sambung seperti dan, walaupun, atau, dll. Tempat gramatikalnya tidak dapat ditentukan secara fungsionil, paling sedikit tidak dengan skema fungsional yang tradisionil. Hubungan fungsionil antara subyek dan predikat dalam struktur-struktur semacam itu direalisasikan secara morfemis belaka, dan hanya konsep fungsi disini yang termasuk sintaksis.


  1. Kategori sintaksis; soal peristilahan; asal teori menegenai kategori
Dalam tata bahasa tradisionil sepuluh kategori, atau kelas kata dibedakan sebagai berikut ( lajur pertama dan ke empat memeberikan istilah indonesia, masing-masing dalam bentuk kata benda dan dalam bentuk kata sifat, sedang lajur kedua dan ketiga memberikan istilah inggris, masing-masing lagi dalam bentuk kata benda dan dalam bentuk kata sifat:


Kata benda
Noun1
Substantive1
Nominal2
Substantival2
Nominal2
Substantival2
Kata ganti
pronoun
pronominal
pronominal
Kata kerja
verb
Verbal3
verbal
Kata sifat
adjective
adjectival
ajektival
Kata bilangan
numera
________4
________4
Kata sandang
article
articular
Artikular
Kata keterangan
adverb
Adverbial
adverbial
Kata depan
Preposition5
Prepositional5
Prepositional5
Kata sambung
conjuntion
Conjuntional6
Konyungsional6
Kata seru
interjection
interjectional
interyeksional




Beberapa catatan terminologis :
a)      Noun dan substantive dalam bahasa inggris dianggap sinonim
b)       Kata sifat yang dipakai sehubungan dengan istilah noun dalam bahasa inggris biasanya substantival, bukan istilah nominal, karena nominal itu depakai sebagai nama suatu kategori ‘’atasan’’, meliputi kata sifat, kata ganti dan kata benda
c)      Istilah verbal dalam bahasa inggris merupakan nama kategori atasan pula (dalam bentuk jamak saja; verbals)
d)      Dalam bahasa inggris kata numeral dipakai dalam bentuk kata sifat
e)      Jangan sekali-kali mengacaukan istilah preposition dengan proposition. Istilah proposition, bila diterapkan pada bahasa, berarti kalimat dipandang bukan dari sudut gramatikal, melainkan dari sudut ilmu logika.
f)       Istilah conjunctive dapat juga menyatakan ciri khas sintaksis
  1.  Kategori sintaksis; menuju teori umum tentangnya; kategori bawahan dan atasan
Untuk mencapai teori baru mengenai kategori sintaksis dapat terarahkan kepada struktur logis  kalimat; jadi kalimat dipandang sebagai ;’’preposisi’’ lebih daripada sebagai kalimat; dalam banyak hal kategori dicampur lagi dengan konsep fungsi. Disini menyusul beberapa prinsip yang dapat menolong untk membentuk suatu teori yang lebih baik tentang kategori sintaksis:
(a)    Kategori sintaksis dibagi atas tiga tataran : kategori atasan, kategori, dan kategori bawahan.
(b)   Kita bahkan belum mulai mencapai suatu teori tentang kategori sintaksis secara lebih umum untuk semua bahasa.


  1.  Adakah hubungtan kategori sintaksis dan semantik leksikal ?
Dalam hal fungsi sintaksis sudah kita lihat bahwa tak ada isi semantisnya kecuali ‘’dari luar’’, yakni oleh oeran sintaksis. Salah satu klasifikasi leksikal yang menonjol adalah pembagian atas unsur leksikal yang menunjukkan seseuatu dan unsur leksikal yang tidak menun jukkan sesuatu. Tentu saja pembagian tersebut adalah pembagian leksikal belaka, tidak menyangkut tatabahasa pada umunya, atau sintaksis khususnya. Jenis arti leksikal pertama disebut arti ‘’referensial’’ dan jenis arti kedua disebut arti ‘’tak referensial’’.
  1. Peran sintaksis; asal dan dasar teori tentang peran
Padea garis besarnya kita dapat membedakan tiga periode dalam uraian teoritis mengenai yang disebut disini sebagai ‘’peran’’ sintaksis: (a) tatabahasa tradisionil; (b) aliran strukturalisme (c) aliran ‘’tata bahasa kasus’’
  1. Peran sintaksis; soal peristilahan; beberapa contoh
Sehubungan dengan peran-peran sintaksis kita memakai nama-nama seperti : pelaku, penerima, tujuan. Istilah itu seharusnya dilengkapi dengan yang lain, seperti : tindakan, pengalaman, keadaan. Akan tetapi sebenarnya istilah-istilah tersebut tidak tepat . misalnya bila ditanya peran manakah  terdapat di tempat subyek dalam kalimat Ayah membaca buku, dam bila kita menjawab bahwa peran konstituen ayah yang terdapat di tempat subyek itu adalah ‘’pelaku’’, yang kita sebutkan bukan semantis, melainkan seorang pelaku, yaitu fakta di luar bahasa atau seperti lebih sering dipakai oleh ahli linguistik, sesuatu yang ‘’ekstralinguistis’’; extralingual dan extralinguistuic.
  1. Peran sintaksis; peran atasan dan bawahan; perbandingan dengan fungsi
Kadang-kadang ada alasan untuk mempersatukan beberapa peran dengan nama atasan. Mis. Bila ada alasan untuk tidak membedakan antara peran beneaktif (Ibu membuatkan adik saya baju baru), peran obyektif (saya membaca buku) dan peran lokatif (pasukan-pasukan menduduki wilayah itu), bila ketiga peran itu terdapat di tempat obyek (masing-masing konstituen adik saya dan buku dan wilayah itu dapat disebut ‘’finitif’’); suatu penyederhanaansemacam itu dapat berguna. Seperti halnya dengan fungsi, peran-peran bersifat relasionil; agentif tidak berarti tanpa aktif, bila atgentifnya terdapat di tempat subyek, atau tanpa pasif bila agentifnya terdapat di tempat keterangan; sebaliknya aktif tidak berarti tanpa agentif, pasif tidak berarti tanpa suatu ‘’finitif’’. Peran adalah pengisi anatara fungsi dan peran.



















BAB VII
SINTAKSIS=BEBERAPA MASALAH TAMBAHAN
1.      Beberapa masalah lain dalam sintaksis
Dalam bab ini kita pilih beberapa diantaranya, terutama yang berhubungan dengan :
a)      Predikat dan sifat-sifatnya dalam beberapa tipe bahasa.
b)      Pertumpuhan antara sintaksis dan morfologi.
c)      Struktur sintaksis yang melampaui batas kalimat tunggal.

2.      Masalah kata kopulatif
Dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa tentu saja kata kopulatif harus berupa verba, sebabnya ialah bahwa pengisian kategori tempat predikat harus dengan kata kerja.
Pada judul pasal ini sengaja dipakai “kata kopulatif” supaya jalannya terbuka juga untuk suatu kata kopulatif yang tidak berupa verba.
3.      Ketransitipan
Dalam banyak bahasa kata kerja itu dibedakan atas yang transitif dan yang intransitif. Istilah Inggris ialah transitive verbs dan intransitive verbs, berasal dari kata latin transitivus dan intransitivus, dari kata benda transitio ‘peralihan’. Artinya, sebuah kata kerja “beralih” pada obyeknya,atau mempunyai kemungkinan dirangkaikan dengan sebuah obyek.
4.      Persesuaian dan penguasaan
Diantara soal yang termasuk dalam motfologi maupun sintaksis masalah “ persesuaian”. Contoh paradikma berfrase antara lain:




Tunggal
Jamak
Nominatif
Pater bonus
Patres boni
Genitif
Patris boni
Patrum bonorum
Datif
Patri boni
Patribus bonis
Akusatif
Patrem bonum
Patres bonos
Vocatif
Pater bone
Patres boni
Ablatif
Patre bono
Patribus bonis




5.      Frase dan kata majemuk
                           Analisis frase pasti termasuk bidang sintaksis karena menyangkut hubungan antar kata, meskipun dalam konstituen terbatas. Hal itu menjadi relevan bila kita bicarakan tentang fungsi bawahan dan tentang peran bawahan. Analisis frase juga termasuk morfologi, karena morfem terikat dapat dirangkaikan dengan kokonstituen yang terdiri atas dua kata atau lebih.
Di seluruh frase sebelum pembedaan antara kata majemuk dan frase tidak ada soal dengan kata majemuk asintaktis justru karena komponen-komponen mempunyai urutan yang tidak mungkin secara sintaktis, tentu saja mudah dikenali sebagai kata majemuk.
Dengan petunjuk-petunjuk ini memang belum dapat kita pecahkan semua soal dalam hal membedakan kata majemuk dan frase. Sering pula reduplikasi tidak selalu unik.
6.      Masalah derivasi morfemis
Derivasi berbeda dari proses paradigmatis karena dalam perubahan paradigmatis identitas kata dipertahankan, sedangkan dalam proses derivasi identitas kata diubah. Misalnya bila dari kata berangkat kita derivasikan kata memberangkatkan, kita pindah identitas kata (jika tidak, tak ada deriivasi), tetapi kita tidak pindah kategori. Sebaliknya bila dari kata mengetahui kita derivasikan kata pengetahuan, kita tidak hanya pindah identitas kata tetapi oindah kategori pula dari kata kerja ke kata benda. Dalam frase jembatan penyeberangan dapat kita uji arti konstituen penyeberangan dengan menjelaskan arti seluruh frase sebagai “jembatan untuk menyeberang”. Tetapi penyeberangan dapat dihasikkan juga sebagai derivasi dari kata kerja menyeberangi, dan tesnya ialah kalimat seperti menyeberangi sungai ditempat ini cukup berbahaya sedangkan kalimat menyeberangi semua penumpang makan waktu tiga jam membuktikan bahwa penyeberangan dapat diderivasikan pula dari menyeberang.
7.      Kalimat majemuk
Disebut kalimat majemuk karena terdiri atas lebih dari satu konstituen yang berupa kalimat sendiri. Padahal demi keteraturan peristilahan lebih baik konstituen-konstituen tersebut jangan disebut “kalimat” melainkan “klausa”. Suatu klausa berupa klausa bawahan atau klausa atasan hubungan antara dua klausa atasan membentuk kalimat disebut “koordinatif” dan hubungan antara klausa atasan dengan klausa bawahan yang tergantung dari padanya disebut “subordinatif”.
8.      Analisis wacana
Analisis wacana adalah analisis yang menentukan hubungan-hubungan yang  terdapat antara kalimat-kalimat utuh dalam suatu teks yang utuh.
Klausa dalam kalimat majemuk dan kalimat dalam suatu teks tidak selalu mudah dibedakan. Pertama-tama pada masalah peranan interpungfi. Misalnya kedua ujaran Ali kalah dalam pertandingan. Tetapi ia tidak mau mengakuinya. Memberi kesan bahwa ujaran tersebut terdiri atas dua kalimat tunggal. Tetapi bagaimana bila ditulis begini : Ali kalah dalam pertandingan, tetapi ia tidak mau mengakuinya? Tentu saja kita tidak boleh mendasarkan penafsitan atas bentuk ortografi ujaran-ujaran tersebut.






BAB VIII
BEBERAPA TEKNIK ANALISIS SISTEMATIS
1.      Mengapa Bab ini?
Semuatataran sistemik bahasa, yakni fonetik, fonologi, morfologi, dan sintaksis, sudah di uraikan prinsip-prinsip dan cara-cara menganalisisnya. Dalam uraian-uraian terdahulu sudah jelas bahwa ada beberapa gejala yang terdapar pada masing-masing tataran tersebut, misilnya variasi alofonemis dan variasi alomorfemis jelas ada ciri-cirinya yang mirip.
2.      Sistem dan struktur; asal dari pembedaan tersebut.
Dalam bukunya cours de linguistique gegerale Ferdinand de sausure membedakan dua jenis  hubungan yang terdapat antara satuan-satuan tertentu bahasa, yaitu:
a.       Hubungan sintagmatis
b.      Hubungan asosiatif
Misalnya dalam kalimat rencana itu gagal ada 15 fonem yang berkait-kaitan dengan cara tertentu;ada tiga kata, dengan hubungan-hubungan di antaranya yang tertentu pula ;ada dua fungsi atasan(masing-masing subyek dan predikat).
Dalam buku-buku linguistik biasanya apa yang kita sebut “sistematik” disebut structure, misalnya the structure of engglish, atau thestructure of indonesia. Tetapi hal ini kurang konsekwen, karena lalu istilah structure itu menyatakan baik “struktur” dalam arti terbatas yang mengecualikan “sistem”, maupun keseluruhan struktur dan sistem
3.      Sistem dan struktur; peranannya dalam analisis linguistik
Struktur ialah susunan bagian-bagian dalam dimensi linear, setiap kalimatdapay dibagi-bagi atas bagian-bagian tertentu secara fonemis, morfemis, dan sintaktis. Bagian itu disebut konstituen. Tiap-tiap konstituen dapat diasosiasikan dengan bentuk bahasa yang lain, satu fonem dengan fonem yang lain, satu morfem dengan morfem yang lain. Hubungan asosiatif dari kata disebut sistem.
4.      Sistem struktur dan distribusi
Istilah “distribusi”menjadi istilah pokok analisa linguistis, kemudian konsep distribusi dapat dibedakan menjadi dua yakni:
a.       Ditribusi salah satu konstituan kalimat untuk menunjukkan hubungan-hubungan konstituen tersebut dengan konstituen lain dalam kalimat.
b.      Pada umumnya yang dimaksutkan dengan “distribusi” ialah kemungkinan penggantian konstituen tertentu dalam kalimat tertentu dengan konstituen yang lain.
5.      Beberapa jenis struktur
a.       Susunan fonetis
b.      Susunan alofonemis
c.       Susunan fonemis
d.      Susunan alomorfonemis
e.       Susunan morfemis
f.       Susunan sintaksis
6.      Beberapa jenis sistem
Karena sistem itu berdasarkan kemungkinan penggantian atau substitusi dapat dibedakan sebagai berikut :
a.       Substitusi fonemis
Substitusi fonemis sudah kita ketahui sebagai “perbedaan minimal” dalam “pasangan minimal”.
b.      Substitusi morfemis
Dalam substitusi morfemis termasuk variasi berparadigma maupun variasi berderivasi.
c.       Substitusi sintaksis
Yang tidak dapat diganti ialah unsur-unsur yang tidak mengubah fungsi, peranan, atau kategori yang sama. Substitusi kata dan substitusi frase sebagai berikut
                                                              i.      Substitusi kata hanya mungkin dalam kategoriyang sama, yaitusuatu kata benda dapat diganti oleh kata benda lain, kata sifat oleh kata sifat lain.
                                                            ii.      Kemungkinan substitusi frase merupakan persoalan khusus. Apakah kata ayah dapat diganti oleh frase ayah saya? Jelas bisa saja. Substitusi frase ayah saya dengan frase ayah kamu jelas bisa juga. Sebaliknya substitusi kata ayah oleh frase oleh ayah tidak mungkin atau substitusi frase dengan ayah tidak dapat dengan frase ayah saya.
7.      Frase endosentris dan frase eksosentris
Frase endosentris ialah frase yang berdistribusi peralel dengan pusatnya. sedangkan frase eksosentris ialah frase yang berdistribusi komplementer dengan pusatnya.
8.      Peranan kata dalam analisis sistematis
Kita sudah tahu bahwa kata sebabgai unsur leksikal merupakan dasar untuk tiga jenis pembeda yang penting dalam keseluruhan sistematik bahasa yaitu
a.       Antara tata bahasa dengan leksikol
b.      Antara bahasa dengan fonologi
c.       Didalam tata bahasa itu sendiri, antara morfologi dan sintaksis
Kata dapat dipandang dan dianalisa dari berbagai sudut :
a.       Secara fonetis
b.      Secara fonemis
c.       Secara morfemis
d.      Secara sintaksis
e.       Secara leksikal
f.       Secara leksikografis

9.      Analisa sistematis dan masalah konstituen “nol”
Morfem{0} sebagai morfem “nol” memang  tidak dapat kita pastikan secara empiris dengan cara lamgsung, karena konstituen “nol” tidak menampakkan secara langsung. Namun apabila dianalisa seluruh paradigma dari kata kerja menyebut, maka ada alasan untuk mengandaikan morfem {0} didepan bentuk –sebut, hasilnya bentuk imperatif sebut! Karena dari kata kerja transitif ditafsirkan sebagai bentuk pasif.
10.  Analisa pembagian langsung
Segmentasi itu dapat dilakukan secara fonemis, morfemis,dan sintaktis. Segmentasi tidak begitu berarti dan tidak memberi pengertian mngenai struktur kalimat, kata, bahkan struktur fonemis tetapi sangat bermanfaat untuk pemula. Salah satu contohnya sebagai berikut :

Saya mau pergi ke Surabaya besok pagi
Saya                mau pergi ke Surabaya besok pagi
Mau pergi        ke Surabaya besok pagi
Mau           pergi    ke Surabaya     besok pagi
 Ke              Surabaya       besok  pagi

Apabila analisa begitu lemah, apa manfaatnya? Pasti ada manfaatnya untuk latihan dan untuk memahami soal yang ada.
11.  Analisa rangkaian unsur dan analisa proses unsur
Analisa rangkaian unsur dan analisa proses unsur, bidang penerapannya bukan pada sintaksis tetapi morfologi. Analisis prores unsur adalah analisa  yang memandang bentuk-bentuk morfemis sebagai hasil dari suatu proses. Sedangkan analisa rangkaian unsur tidak mengandung ide “proses”.
12.  Analisa transformasional
Analisa transformasional bukan teknik melainkan teori yang menyeluruh disebut juga generative grammar. Tatanan bahasa transformasi itu mengandung perluasan tatanan bahasa.


















BAB IX
SEMANTIK
1.      Mengapa semantik sesudah uraian tentang teknik analisis sistematis
Sebuah masalah lain yang dibicarakan secara terpecah-pecah adalah masalah semantik. Semantik berarti teori makna, semantik dengan semantis sebagai kata sifatnya.
2.      Semantik leksikal dan semantik gramatikal
Fonologi tidak bersifat semantis gramatikal dan leksikal. Memang peranan fonem ialah membedakan makna. Disamping semantik gramatikal dan leksikal masih harus kita bedakan “semantik kalimat” dan “semantik maksud”.
3.      Samantik kalimat
Semantik kalimat ialahsemua yang termasuk semantik tapi tidak termasuk gramatikal atau leksikal.
4.      Makna dan informasi
Makna kalimat ialah semantik kalimat atau bagian kalimat dan memberikan informasi tertentu.
5.      Semantik leksikal
Setiap leksem atau unsur leksikal memiliki arti atau makna tertentu, bila diuraikan untuk setiap kata dan hal itu merupakan tugas bagi seorang ahli leksikologi dan leksikografi.
6.      Makna leksikal dan penerapannya
Yang diuraikan tadi dapat juga dirumuskan begini: dalam kata meja, arti ‘meja’ yang diartikan oleh deretan bunyi m-e-j-a, diterapkan pada referennya, yaitu pada perabot tadi. Memang mebel meja itu, yang ditandai oleh kata meja tadi, sesuai dengan kata itu: referennya cocok dengan makna kata yang dipakai. Makna leksikal tidak dapat diubah secara sinkronis, tapi secara diakronis bisa berubah.
7.      Makna dan maksud
Tadi kita bedakan makna dengan informasi yang menyangkut suatu yang luar ujaran. Disamping informasi sebagai luar ujaran ada sesuatu yang luar ujaran pula, yaitu kita sebut makna. Sedangkan informasi adalah suatu yang diluar ujaran di pihak obyektif kenyataan yang dibicarakan, namun maksud itu adalah sesuatu luar ujaran dipihak maksud dari si pengujar.

8.      Semantik maksud
Saya berbicara kepada seorang dan saya menggodanya. Maksud kalimat ini hanya menggoda saja. Semantik maksud harus menyangkut bahasa. Kadang-kadang sulit dibedakan maksud linggual dan ekstrakinggualkhususnya dalam hal nada suara.
9.      Makna, informasi, dan maksud
Maksud menyangkut segi subyektif, makna menyangkut segi linggual, informasi menyangkut segi obyektif.
10.  Sinonimi
Sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma ‘nama’ dan kata syn ‘dengan’ jadi arti harfiahnya ‘nama lain untuk untuk benda sama’. Sinonimi ialah ungkapan yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan yang lain.
11.  Antonimi
Antonimi atau keantonimian berasal dari  yunani kuno onoma ‘nama’ dan anti ‘melawan’. Jadi arti harfiahnya nama untuk benda lain pula. Antonim ialah ungkapan yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.

12.  Homonimi
homonimi atau keantonimian berasal dari  yunani kuno onoma ‘nama’ dan homos ‘sama’. Arti harfiahnya  nama sama untuk benda lain. Homonimi ialah ungkapan atau frase yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi dengan perbedaan makna diantara dua ungkapan tersebut.
13.  Hiponimi
Hiponimi  atau keantonimian berasal dari  yunani kuno onoma ‘nama’ dan hypo ‘dibawah’. Arti harfiahnya ‘nama dibawah nama lain’. Hiponimi ialah ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian makna lain.
14.  Redundansi

Redundansi sering dipakai linguistik modern untuk menyatakan bahwa konstituen dalam kalimat tidak perlu dipandang dari sudut semantik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar